https://banten.times.co.id/
Opini

Santri dan Nasi Bungkus Kemerdekaan

Senin, 18 Agustus 2025 - 12:11
Santri dan Nasi Bungkus Kemerdekaan Abdurrahman Wahid, Pengurus Depertemen SDI DPP HEBITREN, Ketua P4NJ Jabodetabek-Banten dan Founder Kita Santri.

TIMES BANTEN, BANTEN – Hari ini kita bisa menghirup udara yang disebut kemerdekaan. Udara itu, kata pepatah, memang gratis. Tetapi untuk sampai pada bentuk bernama Republik Indonesia, udara ini dibayar dengan ongkos yang sangat mahal: darah, air mata, doa panjang, bahkan keberanian yang kadang tak masuk akal.

Kemerdekaan bukan barang pabrikan dengan label ready to use. Ia hidup, bergerak, berubah-ubah. Kadang menguat, kadang melemah, bahkan bisa hilang bila kita lengah. 

Dalam bahasa sederhana, kemerdekaan itu mirip nasi bungkus di warung pojok: harum, mengenyangkan, tetapi hanya nikmat bila segera disantap bersama-sama. Dibiarkan semalaman, ia basi. Dimakan sendirian, ia menimbulkan seret di tenggorokan.

Santri sejak dulu hadir tanpa gaduh. Kesederhanaan adalah teman akrab: ubin dingin jadi alas tidur, antre panjang di kamar mandi dijalani dengan ikhlas, dan nasi hangat dinikmati dengan lauk tempe atau telur tanpa banyak protes. Tak terlintas dalam benak mereka mengejar pangkat tinggi dengan bintang di pundak, apalagi mencari sorot kamera dengan jas mewah. 

Bagi santri, kesetiaan pada ilmu dan pengabdian sudah lebih dari cukup. Namun, justru dari santri lahirlah kesadaran besar: tanah air ini bukan sekadar sawah, ladang, dan hutan, melainkan bagian dari iman.

Kesadaran itu menemukan bentuk paling tegas pada Oktober 1945, ketika KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad. Isinya sederhana, tetapi dahsyat: mempertahankan tanah air dari penjajah adalah kewajiban agama. 

Ditulis di atas kertas, ia tampak kalimat biasa. Tetapi di dada para santri dan rakyat jelata, ia menjelma api yang menyala-nyala. Bambu runcing pun berubah. Ia bukan sekadar batang kayu, melainkan doa yang diasah. Para santri turun ke medan laga, menghadapi tank dan meriam Belanda dengan dada terbuka. 

Pertempuran 10 November di Surabaya pun meledak dan hingga kini kita kenang sebagai Hari Pahlawan. Begitulah KH Hasyim Asy’ari membungkus kemerdekaan: dengan fatwa yang membuat bambu runcing lebih tajam daripada meriam. Bungkus itu sederhana, tak terlihat mata, tetapi justru paling kokoh.

Kalau sang ayah menjaga kemerdekaan di jalanan lewat pekik jihad, putranya, KH Wahid Hasyim, menjaga kemerdekaan di meja perundingan. Ia duduk di BPUPKI dan PPKI, ikut merumuskan dasar negara. Di sana perdebatan memanas: apakah republik ini akan berdiri di atas dasar Islam atau nasionalisme kebangsaan? Lalu lahirlah Piagam Jakarta, dengan “tujuh kata” yang kontroversial: dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. 

Bagi sebagian orang, tujuh kata itu adalah jaminan identitas. Tetapi bagi sebagian lain, ia justru ancaman perpecahan. Saudara-saudara kita di Indonesia Timur yang mayoritas non-Muslim merasa cemas. Bila republik ini dipaksakan lahir dengan syariat formal, bagaimana nasib mereka?

Di sinilah KH Wahid Hasyim memainkan peran besar. Dengan kejernihan pikiran, ia menegaskan: nasi bungkus kemerdekaan ini tidak boleh hanya diperuntukkan bagi satu golongan. Kalau hanya dibungkus untuk orang Islam, bagaimana dengan saudara kita yang Kristen di Maluku, Hindu di Bali, Katolik di Flores, atau animis di pedalaman Kalimantan? Mereka bisa merasa tak kebagian nasi. Dan republik yang baru lahir bisa pecah di hari pertama. 

Maka, dengan semangat kompromi, tujuh kata itu dihapus. Piagam Jakarta berubah. Indonesia pun lahir sebagai rumah bersama. KH Wahid Hasyim memastikan nasi bungkus kemerdekaan dibungkus dengan daun pisang yang lebar agar semua orang bisa ikut menyantapnya. 

Ada yang menuduh kompromi itu sebagai pengkhianatan. Tetapi sejarah justru membuktikan: kompromi itulah yang membuat kita tetap utuh. Bukankah lebih baik nasi bungkus itu dibagi ramai-ramai, ketimbang diperebutkan sampai piring pecah dan lauk tercecer?

Kini, delapan puluh tahun lebih kita merdeka. Namun mari jujur: isi nasi bungkus itu kadang terasa hambar. Masih banyak saudara kita yang belum merdeka dari rasa takut-takut kehilangan pekerjaan, takut rumahnya tergusur, bahkan takut melintas jalanan karena kriminalitas. Masih banyak pula yang belum merdeka dari kemiskinan struktural. 

Mereka yang makan enak tiga kali sehari masih dianggap beruntung. Sebagian lain bahkan rela menunggu sisa makanan di tong sampah pasar. Ironis, bukan? Di tengah gegap gempita upacara kemerdekaan, masih ada rakyat yang tidak merdeka dari lapar.

Kemerdekaan, seperti nasi bungkus, memang harus terus diperbarui. Lauknya harus diisi ulang, sambalnya diganti, bahkan bungkusnya diperkuat. Kalau tidak, isi nasi bungkus itu cepat basi, atau malah diperebutkan oleh segelintir orang yang rakus.

Di tengah tantangan baru ini, santri kembali dipanggil. Bedanya, musuh hari ini bukan lagi Belanda atau Jepang. Musuhnya lebih licin: ketidakadilan, korupsi, kebodohan, kesenjangan sosial, hingga sampah digital yang memenuhi kepala kita. Kalau dulu santri mengangkat bambu runcing, kini mereka mengangkat laptop. 

Kalau dulu mereka mendirikan laskar, sekarang mereka mendirikan lembaga sosial, startup, hingga partai politik. Gelombang santri baru sudah masuk ke semua lini kehidupan berbangsa. Pernah ada santri yang jadi presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, bupati dan TNI-Polri. 

Kemerdekaan, apa pun bentuk bungkusnya, sejatinya hanyalah titipan. Nilainya baru terasa bila kita syukuri dan kita bagi bersama. Kemerdekaan bukan garis akhir, melainkan jembatan emas: menghubungkan kita dari masa penindasan menuju ruang luas bernama keadilan dan kemakmuran. 

Bila jembatan itu retak, semua yang melintas bisa terperosok. Tetapi bila dijaga, ia akan mengantar anak-cucu ke seberang yang lebih lapang.

Di sinilah peran santri tetap relevan. Mereka tidak hanya menjaga kitab kuning agar tidak berdebu, tetapi juga menjaga isi kemerdekaan agar tidak basi. Hidup sederhana tidur di ubin, makan tempe dan telur mengajarkan daya tahan. 

Dan daya tahan itu kini dibutuhkan untuk menambal robek-robek kebangsaan: memperluas akses pendidikan, memastikan ekonomi tidak hanya dinikmati segelintir orang, dan menegakkan keadilan agar rakyat kecil tidak merasa ditinggalkan. 

KH Hasyim Asy’ari sudah mengingatkan: menjaga tanah air adalah bagian dari iman. KH Wahid Hasyim menambahkan: republik ini adalah rumah bersama, bukan monopoli satu golongan. 

Maka tugas santri hari ini adalah ikut merapikan rumah itu: menyiangi halamannya dari korupsi, memperbaiki atapnya dari kebocoran kesenjangan, dan mengecat ulang dindingnya dengan warna persaudaraan. Syukur kemerdekaan itu sederhana: menjadikannya bekal perjalanan yang bisa dinikmati semua orang, bukan hanya segelintir tamu undangan. 

Dan sebagaimana nasi bungkus di warung tepi jalan, bekal kemerdekaan terasa lebih nikmat bila disantap bersama. Sendiri, ia hambar; rakus, ia menyesakkan. Tetapi bila dibagi dengan ikhlas, ia menjelma pesta kecil yang mengenyangkan sekaligus menghibur hati.

***

*) Oleh : Abdurrahman Wahid, Pengurus Depertemen SDI DPP HEBITREN, Ketua P4NJ Jabodetabek-Banten dan Founder Kita Santri.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Banten just now

Welcome to TIMES Banten

TIMES Banten is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.