https://banten.times.co.id/
Opini

Al Khoziny: Pesantren dengan Harapan Tak Pernah Padam

Sabtu, 11 Oktober 2025 - 12:42
Al Khoziny: Pesantren dengan Harapan Tak Pernah Padam Abdurrahman Wahid, Pengurus Depertemen SDI DPP HEBITREN & Ketua P4NJ Jabodetabek-Banten.

TIMES BANTEN, BANTEN – Sore itu, langit Buduran seperti begitu gelap. Awan menumpuk seperti menahan air mata yang berat untuk jatuh. Musholla di mana para santri melaksanakan salat berjamaah, roboh karena pondasinya tak cukup kuat menampung langkah-langkah kecil para pencari ilmu itu. Bukan hanya atap musholla yang ambruk, bukan hanya genteng yang rontok atau bata yang berserakan tapi juga air mata kesedihan yang menetes, pelan tapi dalam.

Pesantren Al-Khoziny, tempat para santri menimba ilmu dan menata akhlak, ditimpa musibah. Ratusan santri jadi korban, beberapa harus kembali lebih cepat ke haribaan Tuhan. Maka duka Al-Khoziny bukan hanya milik mereka yang tinggal di Sidoarjo. Ia adalah milik semua yang pernah merasakan ngaji kitab kuning di pagi buta, yang pernah menyeduh kopi sambil mendengarkan dzikir menunggu subuh di serambi langgar, atau yang sekadar menaruh hormat pada kehidupan yang keras tapi penuh cinta itu kehidupan di pesantren.

Pesantren dalam sejarah bangsa bukan sekadar lembaga pendidikan. Ia adalah tempat mencetak generasi yang berguna yang tangguh, rendah hati, dan teguh dalam pengabdian. Di sanalah perpaduan antara ushali dan usaha, menyatukan doa di sajadah dengan kerja di ladang kehidupan. 

Dari pesantren Buduran lahir para pejuang dan pemikir: KH. Hasyim Asy’ari, KH. Kholil Bangkalan, KH. Wahab Hasbullah, KH. As’ad Syamsul Arifin, dan ribuan lainnya yang tak tercatat di buku sejarah, tapi tertulis jelas di langit. Mereka membangun bangsa dari semangat yang tak pernah padam.

Maka ketika musholla ambruk, yang patah bukan hanya tiang dan semen, tapi juga sepotong asa kolektif kita. Tapi sayangnya, di zaman komentar cepat dan empati lambat ini, duka sering berubah jadi panggung. Ada yang sibuk menghitung kesalahan, ada yang berebut menyalahkan, bahkan ada yang sempat mengatur nada nyinyir seperti konduktor orkestra di tengah reruntuhan.

Padahal pesantren itu bukan lembaga superkaya. Banyak yang dindingnya masih bilik, lantainya tanah, dan jendelanya hasil patungan. Mereka menampung anak-anak dari keluarga yang hanya mampu membayar dengan doa, bukan rupiah. Di banyak pesantren, santri bukan ditarik biaya, tapi justru diberi makan. Lantas, ketika terjadi musibah, apakah pantas kita menuding tanpa menengok?

Sebagian orang menilai pesantren “kurang mengikuti zaman.” Mungkin ada benarnya, jika yang dimaksud adalah ketiadaan gedung bertingkat atau sistem digital canggih. Namun mereka sering lupa, yang dibangun pesantren bukan beton dan kaca, melainkan jiwa manusia karakter yang tahan banting, akhlak yang kuat menahan godaan, serta hati yang teguh menghadapi cobaan hidup.

Lihatlah para kiai itu ketika diwawancarai: suara mereka bergetar, namun kalimatnya tetap bening dan meneduhkan, “Ini takdir. Semoga Allah berikan yang terbaik bagi kita semua.” Dari ketegaran semacam itulah kita belajar, bahwa kemajuan sejati bukan diukur dari tinggi bangunan, tapi dari dalamnya keikhlasan.

“Takdir,” dalam bahasa pesantren, bukan dalih untuk menyerah. Ia justru bahan bakar untuk bangkit. Para kiai itu tahu: iman tanpa ikhtiar hanyalah kemalasan yang dipoles dengan doa. Maka mereka tidak duduk pasrah di tengah reruntuhan. Mereka segera berbenah, menata ulang, sambil terus memohon kekuatan.

Sayangnya, kita yang berdiri di luar pagar pesantren kerap salah paham membaca bahasa ketundukan mereka pada takdir. Kita kira “takdir” berarti diam, dan “sabar” berarti berhenti berbuat apa-apa. Seolah di balik musibah, Tuhan diminta menanggung semuanya, sementara manusia cukup menunduk dan mengeluh.

Padahal, bagi para kiai, sabar itu bukan rem, ia justru tenaga dalam yang membuat langkah tetap tegak di tengah reruntuhan. Maka ketika seorang kiai berucap lirih tentang “takdir,” bukanlah tanda menyerah, melainkan pengakuan bahwa ada wilayah kuasa yang tak bisa dijangkau manusia, namun tetap harus ditempuh dengan ikhtiar.

Dalam pandangan pesantren, iman kepada takdir bukan alasan untuk berhenti berusaha, melainkan panggilan untuk memperbaiki yang rusak, membenahi yang kurang, dan menata kembali kehidupan dengan lebih hati-hati. Sebab bagi mereka, takdir bukan akhir dari ikhtiar, ia justru sumber kekuatan untuk melanjutkan perjalanan.

Dan di tengah percakapan tentang takdir dan ikhtiar itu, mari kita jujur pada nurani sendiri: pesantren bukan lembaga suci yang kebal dari salah, bukan pula ruang hampa yang tak boleh disentuh kritik. Ia tempat belajar dan di dalam setiap ruang belajar, selalu ada peluang keliru. 

Maka ketika musibah datang, kritik semestinya bukan cambuk, melainkan cermin; bukan untuk mempermalukan, tapi untuk mengingatkan agar duka tak berulang. Sebab keselamatan santri bukan semata urusan “takdir” atau langit. Ia urusan izin yang harus jelas, pengawasan yang harus tegas, dan tanggung jawab manusia yang mesti dijalankan dengan akal sehat dan profesionalitas.

Namun satu hal tak boleh dihapus dari benak kita: tak ada kiai, ustaz, atau pengasuh pesantren mana pun yang ingin santrinya menjadi korban. Para santri itu bukan sekadar murid, mereka anak-anak ruhani para kiai, amanah bangsa, bahkan kerap lebih dekat di hati daripada anak sendiri. Maka setiap luka santri bukan sekadar berita duka, melainkan getar kehilangan yang dirasakan di dada setiap kiai, dan semestinya juga di dada kita semua.

Ada yang juga aneh. Kebanyakan orang menuduh pesantren seperti “perbudakan” terutama di beberapa platform media sosial yang menunjukkan santri sedang melaksanakan pengecoran atau bersih-bersih pesantren. Mereka jelas belum pernah masuk dan tinggal sehari saja di dalamnya. Atau mungkin, ada beberapa pesantren yang menerapkan kerja-kerja seperti itu, tapi coba dilirik kembali. 

Apa yang mereka kerjakan? Menandakan mereka diperbudak? Atau sedang belajar untuk berkhidmah, mengasah mental, dan menempuh laku hidup yang mendidik tangguh?

Ironi memang: di dunia yang terlalu cepat menilai, yang sabar tampak bodoh, dan yang ikhlas tampak lemah. Padahal, di balik kesederhanaan pesantren itu tersimpan ketahanan spiritual yang tak bisa dibeli di pusat perbelanjaan nilai-nilai modern.

Musibah di Al-Khoziny seharusnya menjadi cermin, bukan cemooh. Bahwa di negeri ini masih banyak lembaga pendidikan yang berdiri di atas niat baik tapi dengan pondasi rapuh. Bahwa keselamatan santri bukan hanya tanggung jawab pesantren, tapi juga negara, masyarakat, dan kita semua yang mengaku peduli pendidikan.

Kalau mau jujur, banyak pesantren di Indonesia yang hidupnya lebih mirip perjuangan gerilya. Untuk membangun satu ruang kelas, mereka harus berbulan-bulan menunggu sumbangan semen. Untuk memperbaiki atap, mereka menunggu “keberkahan rezeki” dari wali santri. Tapi dari tempat seperti itulah lahir manusia tangguh, pemimpin yang tidak silau dunia, dan ulama yang hatinya bening.

Maka, sebelum kita sempat menunjuk-nunjuk, mari berkaca. Berapa banyak bangunan megah berdiri tegak tapi kosong dari makna? Berapa banyak gedung modern yang penuh sertifikat tapi miskin kasih sayang? Sementara di pesantren, meski dindingnya retak, akhlak dan solidaritas masih utuh.

Di sinilah letak ironi kita. Negara sering begitu cepat mengatur, tapi begitu lambat hadir. Banyak kementerian bisa bicara soal “standar bangunan pendidikan,” tapi sedikit yang benar-benar turun membantu memperkuat pondasi pesantren. Padahal pesantren bukan hanya lembaga agama, ia adalah infrastruktur moral bangsa.

Kita tidak menolak regulasi. Kita justru berharap ada regulasi yang berpihak. Bahwa setiap pesantren berhak mendapatkan pendampingan teknis, bantuan pembangunan, dan pelatihan keselamatan. Bukan untuk memanjakan, tapi untuk melindungi. Karena dalam setiap bata pesantren, terselip doa ibu-ibu di kampung dan cita-cita anak-anak yang ingin jadi orang berguna.

Musibah ini tidak boleh berhenti di air mata. Ia harus berubah jadi cermin. Bagi pesantren, ini saat memperkuat sistem, membangun ulang dengan lebih aman. Bagi pemerintah, ini saatnya turun tangan lebih sungguh-sungguh, bukan hanya lewat kunjungan simpatik di televisi. Bagi masyarakat, ini waktu untuk berhenti nyinyir dan mulai ikut membantu dengan tenaga, doa, atau sekadar empati.

Al-Khoziny, hari ini, mengajarkan kita arti keteguhan. Bahwa reruntuhan bisa jadi ruang belajar. Bahwa duka bisa jadi guru yang arif. Bahwa dari setiap bata yang hancur, masih bisa tumbuh pohon-pohon keikhlasan yang lebih rimbun.

Dan di tengah semua kesedihan itu, santri-santri kecil masih membaca wirid. Suaranya pelan, tapi tulus. Mereka berdoa untuk teman-temannya, untuk pesantrennya, untuk bangsa ini. Tidak ada marah, tidak ada protes. Hanya doa.

Maka marilah kita tundukkan kepala, bukan untuk menyerah, tapi untuk mendoakan. Sebab bangsa yang masih bisa menangis atas derita sesamanya, berarti bangsa itu masih punya harapan.

Mungkin kita tak bisa ikut menata batu-batu yang runtuh di Al-Khoziny. Tapi kita masih bisa menegakkan harapan, sebab pesantren tak pernah benar-benar roboh. Ia berdiri bukan karena temboknya kokoh, melainkan karena cintanya yang dalam; cinta yang menyalakan cahaya ilmu di tengah gelapnya zaman, cinta yang dengan sabar mencetak generasi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

***

*) Oleh : Abdurrahman Wahid, Pengurus Depertemen SDI DPP HEBITREN & Ketua P4NJ Jabodetabek-Banten.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Banten just now

Welcome to TIMES Banten

TIMES Banten is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.